Budiyono Dion, Bahasaku
Analisis Struktural Layar Terkembang
I. Pendahuluan
Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Ali Syahbana, telah banyak dianalis oleh banyak kritikus dan pembaca. Hasil penilaiannya pun berbeda-beda sesuai dengan cara pandang kritikus, sebanyak jumlah analisis yang sudah dilakukan.
Oleh sebab itu penulis ingin menganalisis novel Layar Terkembang tersebut sesuai denngan cara pandang penulis sendiri dengan membuang jauh dari pengaruh hasil analisis yang sudah pernah ada. Analisis ini didasarkan pada teori fiksi Robert Stanton, yang menyebutkan bahwa unsur-unsur novel terdiri atas fakta-fakta sastra, tema dan sarana-sarana sastra.
II. Analisis Novel Layar Terkembang Berdasarkan Teori Fiksi Robert Stanton
A. Sinopsis Novel Layar Terkembang
Judul buku : Layar Terkembang
Pengarang : Sutan Takdir Ali Syahbana
Penerbit : Balai Pustaka Jakarta
Tahun Terbit : cetakan ke dua puluh Sembilan 2002
Tebal buku : 166 + v
Novel ini bercerita tentang perjuangan wanita Indonesia beserta cita-citanya. Cerita diawali dengan pertemuan tiga tokoh utama yaitu Tuti, Maria, dan Yusuf. Antara Yusuf dan Maria terjadi kontak batin. Sejalan dengan perjalanan waktu hubungan keduanya meningkat menjadi tunangan. Namun sayang, menjelang hari pernikahannya, Maria jatuh sakit dan tidak dapat terobati.
Sebelum meninggal Maria berpesan Agar Tuti meneruskan cintanya kepada Yusuf.
Akhir cerita Yusuf dan Tuti berziarah ke kubur Maria menjelang pernikahannya. Perasaan haru berkecambuk dalam hati mereka berdua.
B. Struktur Novel
Menurut Roobert Stanton (2007:13) bahwa fiksi serius bermaksud menyajikan pengalaman kemanusiaan melalui fakta-fakta, tema-tema, dan sarana-sarana kesastraan. Untuk memahami dan menikmatinya, terkadang harus dilakukan semacam analisis terhadap bagian-bagian tersebut dan relasi-relasinya satu sama lain.
Satra dibangun dengan unsur-unsur; fakta-fakta sastra, tema, dan sarana-sarana sastra.
C. Fakta-Fakta Cerita
Fakta-fakta cerita terdiri atas karakter, alur dan latar. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual cerita.
1. Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter, kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variable pengubah dalam dirinya.
Alur memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis, dapat menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan.
Dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki konflik internal (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya.
Bagian awal cerita Layar Terkembang dimulai perkenalan antara Tuti, Maria dengan Yusuf di gedung Aquarium pasar Ikan. Pertemuan pertama Yusuf ada perasaan lain di hatinya pada Maria. Di bagian lain di rumah R. Wiriaatmaja, ayah Tuti dan Maria datang adik iparnya, Partadiharja. Parta mengisahkan kekecewaan pada adiknya, Saleh, yang sudah beberapa hari terakhir keluar dari pekerjaannya di kantor justisi sebagai ajun komis. Dengan alasan ia,
“hendak bekerja sebagai manusia bebas, hendak mencari pekerjaan yang sesuai dengan kata hatinya, pekerjaan kantor yang tenang itu dikatkannya pekerjaan mesin yang mematikan semangat” (LT,hal 23).
Pengarang juga memperkenalkan masalah utama dalam novel ini, yaitu nasib perempuan yang buruk, hanya menjadi pelengkap, hamba sahaya, dan abdi bagi lelaki saja, seperti pada kutipan berikut ini:
“…keadaan perempuan bangsanya amat buruk. Dalam segala hal makhluk yang tiada mempunyai kehendak dan keyakinan, manusia yang terikat oleh berates-ratus ikatan, manusia yang hanya harus menurut kehendak kaum laki-laki.” (LT. hal.8)
“ hitam, hitam sekali penghidupan perempuan bangsa kita di masa silam, lebih hitam dari malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri, yang mempunyai hidup sendiri, perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki, dengan tiada mempunyai hak. (LT, hal 35)
Konflik batin terjadi pada diri Tuti. Ditengah-tengah perjuangannya pada organisasi wanita, ia kesal dengan sikap adiknya yang sudah menjadi bayang-bayang Yusuf.
“pedih rasanya tiba-tiba menyambuk ingatannya akan perselisihannya dengan Maria. Ia tidak mengerti akan perangai adiknya. Heran ia, bahwa sampai demikian perempuan dapat tertambat akan laki-laki. Ia telah menjadi baying-bayang Yusuf. Tidak, ia tidak akan menghambakan dirinya kepada laki-laki serupa itu. Percintaan harus berdasar atas dasar yang nyata; sama-sama menghargai. Perempuan tidak harus mengikat hati laki-laki oleh karena penyerahannya yang tiada bertimbang dan bertangguh lagi….”(LT.hal76).
Klimak dalam cerita ini ditandai pertengkaran Tuti dengan Maria dan Yusuf soal cerita pertunjukan drama yang berjudul, Sendhyakala ning Majapahit yang pelakunya Yusuf dan Maria. Isi cerita itu memaparkan pandangan, bahwa dunia ini adalah dunia maya. Tuti tidak setuju atas pandangan itu.
Bagian akhir cerita disudahi dengan meninggalnya Maria dan cintanya kepada Yusuf diteruskan oleh Tuti.
“Alangkah berbahagia saya rasanya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini….” (LT. hal161)
2. Karakter
Terma karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita seperti ketika ada orang yang bertanya; Berapa karakter yang ada dalam cerita itu? Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut seperti yang tampak implicit pada pertanyaaan; Menurutmu, bagaimanakah karakter dalam cerita itu?
Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu karakter utama, yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Biasanya, peristiwa-peristiwa ini menimbulkan perubahan pada diri sang karakter atau pada sikap kita terhadap karakter tersebut.
Karakter utama dalam cerita Layar Terkembang ini adalah Tuti, Maria dan Yusuf. Tuti seorang guru, aktivis wanita yang bersikap serius, cerdas, dan berkarisma. Maria seorang gadis lincah, periang, dan mudah kagum. Yusuf mahasiswa yang yang aktif dalam organisasi pemuda (pemuda baru), anak seorang Demang Munaf Martapura Sumatera Selatan.
Karakter tambahan : R.Wiriaatmaja, ayah Tuti dan Maria, seorang pensiunan Wedana. Partadiharja, ipar R. Wiriaatmaja yang berpandangan kolot, Saleh adik Parta, seorang sarjana yang mau berjuang (bekerja) sesuai dengan kehendak hatinya, memilih hidup di desa dengan bertani dan berkebun.
3. Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berupa dekor, dapat pula berupa waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah. Meski tidak langsung merangkum sang karakter utama, latar dapat merangkum orang-orang yang menjadi dekor dalam cerita. Biasanya latar diketengahkan lewat baris-baris kalimat deskriftif.
Latar Novel Layar Terkembang ini mengambil beberapa tempat, yaitu; A. Gedung Akuarium di Pasar Ikan, Rumah Wiriaatmaja, Martapura Sumatera Selatan, Rumah Sakit di Pacet, Rumah Partadiharja, Gedung Permufakatan Jakarta.
B. Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat, berkenaan dengan kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti; cinta, derita, rassa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua. Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita, yang berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan. Tema bersinonim dengan gagasan utama atau maksud utama cerita.
Tema merupakan elemen yang relevan dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita. Tema cerita memiliki kesamaan dengan filosofi, sedangkan struktur factual mirip dengan kenyataan yang dialami oleh manusia. Tema memberi koherensi dan makna pada fakta-fakta cerita. Cara yang paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya sastra adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada dalam cerita itu. Setiap aspes cerita turut mendukung kehadiran tema.
Tema novel Layar Terkembang adalah perjuang wanita Indonesia beserta cita-citanya. Tema itu tergambar dari sebagian pidato Tuti berikut:
“Sesungguhnyalah hanya kalu perempuan dikembalikan derajatnya sebagai manusia, barulah keadaan bangsa kita dapat berubah. Jadi, perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat itu bukanlah semata-mata kepentingan perempuan. Kaum laki-laki yang insaf akan kepentingan yang lebih mulia dari kepentingan hatinya yang loba sendiri tentu akan harus mengakui itu.” (LT. hal 40.)
C. Sarana Sastra
Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi. Pengarang yang serius mampu menemukan metode yang mengendalikan emosi para pembaca. Metode ini dinamakan sarana-sarana sastra. Sarana-sarana sastra meliputi; sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, dan ironi.
1. Sudut Pandang
Sudut Pandang adalah posisi penceritaan dalam sebuah cerita. Posisi ini merupakan pusat kesadaran tempat kita dapat memahami setiap peristiwa dalam cerita. Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama, yaitu; orang pertama utama, orang pertama sampingan, orang ketiga terbatas, dan orang ketiga tak terbatas.
Sudut pandang dalam novel Layar Terkembang ini menggunakan sudut pandang orang ketiga yang ditandai dengan menyebutkan nama tokoh-tokohnya.
2. Gaya dan Tone
Gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa dalam cerita. Meski dua pengarang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan metafora. Campuran dari berbagai aspek tersebut, dengan kadar tertentu, akan menghasilkan gaya. Gaya bisa terkait dengan maksud dan tujuan sebuah cerita.
Satu elemen yang amat terkait dengan gaya adalah tone. Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantic, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, atau penuh perasaan. Ketika pengarang mampu berbagi perasaan (mood) dengan sang karakter dan ketika perasaan itu tercermin pada lingkungan, tone menjadi identik dengan atmosfer.
Gaya dalam cerita novel ini begitu lancar dan indah (romantic) menurut perkembangan bahasa pada waktu itu yang masih kental dengan bahasa Melayu. Setiap tindak karakter cerita dan keadaan dideskripsikan dengan detil dan nyata. Kalimatnya panjang-panjang, tetapi jelas. Banyak pula menggunaka imaji dan metafora yang mengkonkretkan, seperti tergambar dalam kutipan berikut ini:
“Dinding gedung Permupakatan berat berhias daun kelapa dan daun beringin, di sela-sela kertas merah putih. Di dinding sebelah kanan nyata dan jelas tersusun huruf perkataan Pemuda Baru, di dinding sebelah kiri terbaca Konggres Kelima. Bau daun yang segar memenuhi seluruh ruang yang girang gembira nampaknya oleh cahaya lampu listrik yang terang benderang. Di sebelah hadapan ruang itu terlabuh layar ungu berombak-ombak.” (LT. hal.93)
Tone atau sikap emosional pengarang dalam novel ini tidak setuju sikap wanita Indonesia yang lemah, dan hanya menjadi wanita penurut, dan penghamba laki-laki saja. Hal ini seperti dituntukkan sikap Tuti yang tidak senang terhadap tabiat Maria adiknya.
3. Simbolisme
Simbol adalah sebuah cara untuk menampakkan gagasan dan emosi. Sebab gagasan dan emosi pada hakikatnya tidak dapat dilihat dan sulit dilukiskan. Symbol berwujud detail-detail konkret dan factual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Dengan symbol, pengarang membuat maknanya jadi tampak. Simbol dapat berwujud apa saja.
Dalam cerita symbol dapat memunculkan tiga efek, yang masing-masing bergantung pada bagaimana symbol bersangkutan digunakan. Pertama, sebuah symbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna peristiwa tersebut. Kedua, satu symbol yang ditampilkan berulang-ulang meningkatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam semesta cerita. Ketiga, sebuah symbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menemukan tema.
Dalam novel Layar Terkembang, penulis menemukan penggunaan symbol, yaitu Layar seperti yang digunakan dalam judul novel ini, dan kata Layar digunakan beberapa kali pada teks, seperti pada kutipan berikut ini:
“Tiada beberapa lama setelah ia undur ke balik layar yang tertutup, diiringi oleh tepuk yang ramai, maka terkuaklah pula layar ungu berombak-ombak itu seluas-luasnya….dan waktu layar ungu yang berombak-ombak itu terkuak pula, mulailah pertunjukkan sandiwara, Sandhyakala ning Majapahit” (LT. hal 95)
Kata layar di dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti; 1) kain tebal yg dibentangkan untuk menadah angin agar perahu (kapal) dapat berjalan (laju); 2) tabir (tirai) penutup jendela (pintu); 3) tirai; kelir (dipakai pd pertunjukan gambar hidup, drama, wayang kulit, dsb); -- menimpa tiang, pb kawan menjadi lawan.
Kata layar dalam novel ini dapat diartikan kelir seperti yang dipakai pad a pertunjukan gambar hidup, drama, wayang kulit, yang menyimbulkan adegan atau babak baru. Terkembang sebagai symbol yang dapat diartikan; terbuaka atau babak baru, atau dapat juga dari kata kembang sebagai symbol wanita baru. Terkembang , kembang yang mekar. Jadi layar terkembang melambangkan bahwa wanita Indonesia baru harus berpandangan baru, yaitu harus berkedudukan sama dengan hak laki-laki, demi kemajuan bangsa.
4. Ironi
Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Ada dua jenis ironi, yaitu; ironi dramatis dan tone ironi. Ironi dramatis atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametric antara penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan seorang karakter dengan hasilnya, atau antara harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Tone ironis atau ironi verbal digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang menggunakan makna dengan cara berkebalikan.
Sebuah ironi terdapat pertunjukkan drama dalam penutupan konggres pemuda kelima yang meanmpilkan lakon Sedhyakala ning Majapahit. Karena isi cerita itu tidak menumbuhkan semangat baru dalam mengembangkan cita-cita untuk memajukan bangsa. Sebuah kontradiksi jika dikatakan bahwa dunia ini maya, sehingga orang mengesampingkan kehidupan dunia ini, dan hanya berkonsentrasi pada kehidupan lain yang abadi, yaitu akhirat, seperti yang dituturkan Wisynu berikut ini:
“Akulah Wisynu yang engkau cari, aku bertahta dalam hatimu sendiri. Dunia tidak pernah terjadi sebab tidak pernah tidak ada. Kata, nama, sifat, sekaliannya Cuma buatan manusia belaka. Sekaliannya tidak ada ketika manusia belum ada di dunia. Waktu Cuma maya, Cuma perbandingan yang dibuat oleh manusia antara suatu kejadian dengan kejadian yang lain.kekuasaan atau tempat pun hanya mimpi belaka sebab Wisynu ada dalam hati segala benda. Dunia tidak bersifat dan tidak bersifat. Jalan manusia ke hatinya sendiri ialah yoga, menghentikan berpikir, melenyapkan dunia maya, dan menyatukan diri dengan jiwa segala benda.” (LT. hal. 96).
Pandangan itu sangat bertentanga dengan cita-cita Tuti. Bagi Tuti; hidup ini bukan maya, “sebab kalau segalanya maya, habis arti segala hidup di dunia ini.” (LT. hal 101). Bagi Tuti; “hidup kita ialah kerja” (LT. hal 166), dan hidup harus diperjuangkan;”…perjuangan dengan sedih dan senangnya.” (LT. hal. 166).
III. Penutup
Novel Layar Terkembang merupakan puncak karya St. Ali Sahbana yang terbit 1936. Sebuah novel yang melukiskan perjuangan wanita Indonesia beserta cita-citanya agar dapat duduk bersama-sama dengan laki-laki untuk memajukan bangsa, yang dideskripsikan dengan bahasa yang indah.
Wanita Indonesia baru harus dapat mengawali babak baru, mengembangkan layarnya, cara pandang baru, duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan laki-laki. Perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas, berpendidikan sehingga dapat berpartisipasi dalam pembangunan dan meningkatkan harga diri serta martabat di hadapan lelaki dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hidup ialah kerja, perjuangan, dan dalam perjuangan tidak luput dari sedih dan gembira.
0 Response to "Analisis Struktural Layar Terkembang"
Post a Comment
mohon meninggalkan komentar